Perundang-undangan Media Cetak dan Penyelewengannya

Oleh: Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi

Tanya: Adakah dalam hukum Islam dibedakan antara media cetak (tulisan) dan ucapan? Apakah peletakan masalah media cetak dalam undang-undang merupakan suatu hal yang samar? Apakah kendala utama dalam mensikapi penyelewengan dalam hal media cetak?

Jawab: Untuk lebih jelasnya permasalahan media cetak diIran maka kita harus melihat kembali undang-undang dasar negara Iran dan undang-undang tentang media cetak. Dalam mukaddimah juga dalam bab kedua, ketiga dan keempat undang-undang dasar telah dijelaskan tentang undang-undang media cetak. Jika para ahli hukum meneliti kembali apa yang tercantum dalam bab-bab tersebut juga pada setiap pasal yang ada maka tidak akan lagi terdapat kesamaran disana, kalaupun masih didapat kesamaran disana maka hal tersebut bisa ditanyakan pada dewan penjaga (dewan penjelas undang-undang).

Perihal undang-undang media cetak walaupun dari sisi konsep ataupun ungkapan tidak terdapat kesamaran sama sekali akan tetapi ada pertanyaan mendasar yang berkaitan dengannya yaitu; adakah undang-undang media cetak seratus persen islami sehingga sesuai dengan kehendak pemberi dan penentu hukum (Syaari’)?

Guna menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu ada satu poin penting  yang kita harus perhatikan bahwa kitab, semua media cetak, segala jenis film, teater, internet dan sebagainya merupakan extensi dari ungkapan pendapat. Manusia dalam menyampaikan pendapatnya terkadang melalui sarana lisan atau tulisan, gerakan dan isyarat. Jika seseorang dilarang menghina, mencela ataupun menfitnah pihak lain dengan lisan maka iapun dilarang melakukan itu semua melalui tulisan, film, gambar dan sebagainya.

Jelas kita tidak akan bisa menerima ungkapan yang menyatakan bahwa kita harus membuat undang-undang khusus tentang pengungkapan pendapat melalui lisan sedang untuk yang melalui tulisan ada undang-undang lain. sebagaimana pelanggarang lisan harus ditindak dan diadili dalam mahkamah Islam maka pelanggaran tulisanpun –seperti masalah mass media- harus dilakukan hal serupa. Dalam perundang-undang media cetak kita berpendapat harus adanya kekhususan tersendiri pada media cetak dimana; pertama tempat rujukan bagi suatu tindakan pelanggaran harus dilakukan oleh dewan juri tindak pidana media cetak, kedua setiap pelanggaran atas undang-undang media cetak walaupun yang membahayakan Islam, negara atau stabilitas nasional bisa kita kategorikan sebagai “pelanggaran media cetak” yang jika hanya diakhir tindakan hukum berupa pemberhentian untuk jangka waktu beberapa minggu atau beberapa bulan saja merupakan tindakan yang tidak dibenarkan.

Padahal pelanggaran dalam pengungkapan pendapat melalui lisan terkadang menuntut keharusan untuk dikenai sangsi yang sangat berat termasuk hukuman mati. Pelecehan dan penghinaan atas Islam, sakralitas keagamaan dan pemerintahan merupakan suatu hal yang tidak bisa ditolerir. Dari sini maka bagaimana mungkin kita akan membedakan hukum dari pengungkapan suatu pendapat melalui tulisan dan gambar?

Salah satu penyebab tidak adanya persesuaian antara undang-undang media cetak dengan hukum-hukum Islam yang ada dari sisi kehendak dari perundang-undangan tersebut dimana undang-undang tadi adalah hasil translate dari undang-undang bangsa prancis walaupun sudah beberapa kali diadakan suatu perubahan akan tetapi bentuk aslinya masih sangat kental[1]. Pemerintahan Islam berkewajiban untuk merubah sistem perundang-undangan hasil import untuk dirubah menjadi undang-undang yang murni islami.

Singkat kata bahwa dilihat dari sisi hukum tidak dibedakan antara ungkapan melalui tulisan ataupun lisan. Jika ungkapan secara lisan ada larangan dan dihukumi haram maka bentuk tulisanpun begitu juga hukumnya. Dan jika penungkapannya secara lisan merupakan suatu kewajiban –seperti amar makruf nahi munkar- maka bentuk tulisannyapun begitu pula hukumnya. Dari sini maka undang-undang media cetak pada prinsipnya harus diadakan pembaharuan mendasar.

Poin lain yang harus ditekankan dalam pokok bahasan ini ialah bahwa undang-undang dasar sebagaimana biasanya undang-undang yang lainnya bersifat universal bukan partikular ataupun personal, oleh karena itu undang-undang harus diterapkan pada setiap ekstensi riilnya. Jika suatu ketika didapati satu kendala maka harus kembali kepada pemahaman ahlinya bukan kepada pemahaman masyarakat umum, karena mungkin nanti akan dikatakan bahwa mencari kesepakatan pemahaman masyarakat umum sangatlah sulit oleh karenanya fungsi dewan juri sangatlah berpengaruh disini. Agar tidak setiap individu mengaku sebagai ahli hukum maka undang-undang harus dibentuk oleh majlis permusyawaratan Islam (legislatif) ataupun dewan tinggi revolusi kebudayaan (syura-e o’li inqilab-e farhangi). Setiap personal sesuai dengan undang-undang yang ada –baik UU yang tetap maupun yang sementara- ditunjuk secara legal sebagai para ahli yang memiliki otoritas untuk memilah mana yang salah dan yang benar dari perkara-perkara media cetak, jelas bahwa pribadi-pribadi seperti itu harus mengenal betul atas undang-undang dasar yang ada. Selain mereka bertugas untuk menyusun undang-undang media cetak secara sempurna dan sesuai dengan hukum-hukum Islam merekapun harus menentukan beberapa individu yang bertugas sebagai ketua pelaksana dimana ketua tersebut dituntut selain konsisten dan konsekwen dengan undang-undang yang ada dari sisi pelaksanaan hukum ia harus berusaha seoptimal mungkin untuk tidak cacat dan melakukan kesalahan dalam bertindak.        


[1] Pertama kali undang-undang media cetak dikeluarkan pada tahun 1267 (H.S) yaitu setahun pasca zaman pensyaratan yang disesuaikan dengan undang-undang media cetak prancis. Undang-undang ini terjadi perubahan sebanyak empat kali yang masing-masing terjadi pada tahun 1321, 1334, 1358 dan 1364 (H.S)

Tinggalkan komentar