Agama dan Aliran Pemikiran Eklektis (Iltiqâthî)

Oleh: Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi  

Soal: Apa itu aliran pemikiran Eklektis? Dan apa korelasinya dengan bid’ah dalam agama?

Jawab:

a.      Keserupaan Pemikiran Eklektis dengan Bid’ah

Secara lenguistik, iltiqâth berarti mencabut dan mengambil sesuatu dari tanah. Dan aliran pemikiran iltiqâthî (Eklektisme) adalah sebuah istilah yang memiliki cara berpikir yang khusus. Untuk menjelaskannya lebih lanjut, kami harus menjelaskan terlebih dahulu sebuah prolog.

Segenap pemikir (dunia) mengakui premis yang berbunyi “Setiap ilmuwan hanya berhak mengeluarkan pendapat berhubungan dengan ruang lingkup spesialisasinya”. Mereka meyakini bahwa dalam setiap pembahasan yang bersifat spesialisasi, kita harus meminta pendapat dari spesialisnya. Akan tetapi, dalam praktek, akan ditemukan beberapa orang tanpa mengindahkan konsep logis di atas mengeluarkan pendapatnya dalam berbagai disiplin ilmu yang tentunya semua disiplin tersebut berada di luar spesialisasinya. Pemikir-pemikir itu akan memilih satu pandangan yang disukainya di  antara setumpuk pandangan yang berkaitan dengan berbagai bidang. Tanpa lagi memperhatikan kerangka pemikiran (noutic structure) pandangan yang dipilihnya itu, mereka mengemas sekumpulan pandangan dan teori itu menjadi buah pemikirannya sebelum mereka sodorkan kepada orang lain, meski secara jelas tampak inkonsistensi dan kontradiksi di antara unit-unitnya.

Misalnya, di antara studi-studi mereka di bidang Psikologi, Sosiologi, Politik, Hokum, Filsafat, mereka mengemas sebuah paket dari sejumlah teori dan pemikiran dalam bidang-bidang itu yang masing-masing mengacu pada    kecondongannya yang khas. Tentunya, paket ini dikemas tidak lagi berdasarkan pertimbangan yang cermat terhadap dasar dan pola pemikiran tiap teori itu, juga  disuguhkan tanpa lagi mencermati keutuhan dan konsistensi di dalamnya. Tetapi, apa saja yang sesuai dengan selera mereka akan diterima untuk kemudian dikemas menjadi sebuah paket pemikirannnya, dan disodorkan sejajar dengan pemikiran-pemikiran lainnya.

Cacat terbesar dalam upaya yang tidak ilmiah ini ialah inkonsistensi atau bahkan kontradiksi di antara unit-unit dan sisi-sisi pemikiran. Karena inkonsisitensi dan kontradiksi ini, upaya dan produknya tidak akan bisa menjadi paket pemikiran yang rapih dan utuh.

Maka itu, pemikiran eklektis berarti sebuah keranjang yang menampung aneka ragam  pemikiran dan teori yang masing-masing membawa arus yang khas, dan kadangkala saling bertentangan. Karena kerangka dan dasar teori-teori ini  tidak berkesesuaian atau bahkan bertentangan, sebagian dari mereka yang gemar berpikir dengan pola eklektis terjebak ke dalam Pluralisme Agama, Esensialisme Agama, ataupun ke  dalam relatifitas kebenaran.

Sebagaimana yang muncul dalam masyarakat kita yang muslim, khususnya dalam lima puluh tahun terakhir ini, pemikiran eklektis ini telah berkembang di kalangan intelektual yang tidak memiliki kecakapan yang semestinya. Tidak sedikit  mereka yang dari satu sisi sebagai seorang muslim yang tidak siap mengorbankan agama dan kepercayaannya secara total, sementara dari sisi lain terbawa hanyut oleh kemolekan teori dan pemikiran asing menyangkut berbagai bidang, padahal mereka tidak begitu mumpuni dan memiliki spesialisasi yang cukup dalam persoalan-persoalan agama, ataupun dalam semua bidang-bidang yang tengah  mereka  tanggapi.

Tentunya, dalam isu-isu semacam ini, sikap objektif menuntut bahwa seseorang harus memiliki satu pencermatan yang dalam terhadap pemikiran-pemikirannya, supaya hawa nafsu dan kepentingan subjektifnya tidak menguasai logika dan akalnya, sehingga ia tidak terperangkap dalam kepalsuan dan penipuan intelektual.

Dalam sebagian riwayat Islam terdapat sebuah ungkapan dengan istilah ijtihad birra’y (ijtihad subjektif), yakni mendasarkan asumsi-asumsi, pendirian-pendirian apriori, dan  keberpihakan serta kecenderungan pribadinya dalam upaya memahami dan menyimpulkan hukum agama. Metode penafsiran  dan penyimpulan ini begitu kerasnya dihujat oleh riwayat-riwayat tersebut. Pada titik yang berlawanan ialah  penyimpulan  yang benar dan rasional atas agama yang lebih dikenal pula dengan isltilah faqahah.

Sebelum melakukan penelitian dalam setiap persoalan, seseorang mungkin saja mempunyai perceptual set, rangkaian mentalitas dan emosionalitas subjektif yang telah dimiliki sebelumnya, dimana jika semua itu di sepanjang proses  penyelidikan  tidak dikesampingkan, maka konklusi dan kesimpulan dari penyelidikannnya tentu tidak akan murni dan orisinil. Oleh karena itu, merembasnya sebagian motif-motif subjektif seperti; mencari popularitas, mendapatkan perhatian halayak, status social, atau kepentingan-kepentingan pribadi lainnya, tidak terelakkan lagi dalam memahami dan menafsirkan agama. Demikian ini akan menyeret seseorang untuk menafsirkan dan melakukan pembenaran atas hukum-hukum dan ajaran-ajaran agama sedemikian rupa sehingga menguntungkan kepuasaan dan keinginan pribadinya. Inilah yang disebut dengan ijtihad birra’y.

Pemahaman atas agama   yang demikian ini pada hakikatnya yaitu pemaksan satu pandangan, pendirian ataupun kepercayaan pribadi atas agama ketimbang upaya  mendekati pemahaman yang objektif dan tulus pada kebenaran. Adanya syarat ‘adalah  dan takwa di samping syarat ijtihad (yakni kemampuan memahami agama secara metodik dan rasional) bagi mujtahid, adalah untuk mengantisipasi kemungkinan ijtihad birra’y. Dan, dengan mengkombinasikan ijtihad, faqahah bersama keadilan dan ketakwaan, maka syarat keilmuan yang mumpuni juga kelayakan moral pemahaman atas agama tersebut bisa terealisir. Pada gilirannya, apa saja yang disimpulkan sebagai hasil penyelidikan menjadi valid dan hujjah lengkap atas sang mujtahid dan pengikut-pengikutnya.

Istilah lain yang juga digunakan dalam tradisi agama ialah bid’ah, yaitu menisbahkan sesuatu yang bukan bagian dari agama ke dalam agama. Bid’ah dengan pengertian ini merupakan hasil ijtihad birra’y dan buah pemahaman serta pemikiran eklektis atas sumber-sumber agama. Karena, sebagimana yang telah kita isyaratkan, ijtihad birr’y  berarti mencampuradukkan latar belakang mentalitas dan teori-teori yang sudah diterimanya dalam proses memahami agama, sementara teori-teori itu sendiri secara esensial berasal dari aliran dan arus pemikiran yang non agama, atau bahkan anti agama.

Tetapi, jika latar  belakang mentalitas serta teori-teori yang sudah diterima itu bersumber atau bagian dari agama itu sendiri, maka semua itu tidak akan berbenturan dengan bagian-bagaian lain dari agama itu. Oleh sebab itu, bisa dinyatakan secara tegas bahwa bid’ah ialah hasil atau buah pemikiran eklektis, dan pemikiran eklektis ini sendiri adalah hasil pencampuradukan kecenderunagan subjektif dan selera pribadi dalam upaya mengenal dan memahami agama. 

Perlu ditambahkan disini bahwa apa saja yang dimasukkan ke dalam agama oleh pemikir-pemikir eklektis, karena tidak dibarengi pemahaman yang steril dan objektif atas agama,  tidak pula disertai  premis-premis dan syarat-syarat perlu dalam upaya intelektual tersebut, maka semua itu itu tidak memiliki validitas, baik bagi pemikir-pemikir eklektis itu sendiri  ataupun bagi selain mereka, baik secara hokum akal ataupun secara hokum syariat. Begitupula,  apa yang dimasukkan ke dalam agama oleh pemikir-pemikir eklektis itu tidak bisa menjadi alasan dan pembelaan di hadapan pertanggungjawaban Tuhan di akhirat kelak atas tingkah laku mereka di dunia.

Tinggalkan komentar