Islam dan Masyarakat Madani

Oleh: Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi

Tanya: Dengan menilik (dan membandingkan dengan) Masyarakat Islami, apa yang dimaksud dengan Masyarakat Madani? Apakah Masyarakat Madani memiliki tempat di dalam agama dan Masyarakat Islami?

Jawab: Untuk menjawab pertanyaan di atas, pertama kali kita harus perjelas terlebih dahulu maksud dari “Masyarakat Madani” dan Masyarakat Islami”, kemudian kita memasuki pembahasan mengenai korelasi antara keduanya.

  1. Masyarakat Madani

Masyarakat Madani memiliki aneka ragam arti dan definisi. Kosa kata ini pernah muncul ke permukaan sekitar 1500 tahun silam, dan pada setiap periode (perkembangannya) memilik penafsiran yang berbeda-beda. Di masa kini juga demikian.

‘Alâ kulli hâl, kami akan menjelaskan tiga arti yang masih dipakai di masa kini sehingga kami dapat menjelaskan jawaban pertanyaan di atas dengan jitu.

Arti pertama, Masyarakat Madani versus masyarakat terbelakang dan tak berkultur. Dalam istilah ini, maksud dari Masyarakat Madani adalah sebuah masyarakat yang setiap perilaku anggotanya diatur oleh hukum dan undang-undang, dan tidak seorang pun berhak untuk menghukum dan membalas perilaku seorang kriminalis atas dasar tolok ukur pribadinya. Mungkin orang-orang yang menekankan supremasi hukum di samping Masyarakat Madani menghendaki arti ini.

Arti kedua, Masyarakat Madani adalah sebuah masyarakat yang anggotanya mengerjakan mayoritas tugas-tugas sosial yang ada di dalamnya secara sukarela, dengan dengan ini, mereka dapat meringankan beban dan tanggung jawab pemerintah.

Arti ini sangat sesuai dengan dengan program-program Islam. Adanya instansi-instansi pengajaran dan pendidikan masyarakat, rumah sakit-rumah sakit, dan pusat-pusat pelayanan umum, serta disyari’atkannya Wakaf adalah bukti nyata ke-Madanian agama Islam.

Arti ketiga, Masyarakat Madani dalam terminologi modernnya adalah satu bagian dari sisi-sisi kehidupan manusia yang bersifat publik (kemasyarakatan) dan terpisah dari pemerintah. Organ ini berbentuk asosiasi-asosiasi, koprasi-koprasi, partai-partai, dan pusat-pusat kebudayaan yang memainkan peran penghubung antara individu-individu masyarakat dan pemerintah. Masyarakat Madani dalam terminologi ini banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai kultur tertentu yang kontradiktif dengan kultur Islam. Hal ini dikarenakan Masyarakat Madani tersebut dibentuk berdasarkan pondasi-pondasi khusus (yang masih harus didiskusikan lebih lanjut), antara lain:

  1. Sekularisme yang memiliki persepsi pemisahan agama dari seluruh kegiatan hidup bersosial. Ini adalah pondasi pertama Masyarakat Madani tersebut dari sisi ideologi. Hal itu dikarenakan kita baru bisa memiliki sebuah Masyarakat Madani (dalam arti ketiga) ketika kita sendiri – secara fundamental – yang membuat undang-undang dan hukum, baik yang berhubungan dengan sisi individual kehidupan manusia maupun sisi sosialnya. Langkah pertama (yang harus kita ambil) adalah kita harus membebaskan diri dari “ikatan-ikatan” agama.
  2. Humanisme. Humanisme (yang berarti manusia adalah tolok ukur absolut dalam segala hal) adalah landasan kedua ideologi Masyarakat Madani ini. Atas dasar landasan ini, segala seuatu harus berkhidmat demi manusia. Agama pun demikian. Selama ia dapat menjamin ketenangan jiwanya dan tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingannya, agama akan berarti. Dengan demikian, keberartian dan nilai segala sesuatu diukur dengan kebermanfaatannya bagi manusia.
  3. Relativitas norma dan ilmu pengetahuan. Berdasarkan landasan ini, tidak ada satu pun ilmu pengetahuan dan nilai yang absolut dan permanen. Dari sisi ilmu pengetahuan, tidak seorang pun berhak untuk menganggap pengetahuan dan pandangannya sebagai suatu yang absolut meskipun pandangan tersebut didasari oleh hukum logika yang pasti (qat’î) atau berasal dari ajaran agama yang belum pernah mengalami tahrîf. Dari sisi nilai, tidak ada yang namanya norma permanen  dan absolut. Hal ini ditentukan oleh pilihan dan kehendak mayoritas. Atas dasar ini, norma-norma yang telah dipermanenkan oleh hukum akal atau wahyu sepanjang sejarah manusia, masih memiliki kredibilitas jika masih diterima oleh mayoritas, dan jika tidak, norma-norma itu perlu disingkirkan.

Di masa kini, setelah terjadi perombakan-perombakan baru dan dominasi pemikiran Liberalis atas kultur dunia Barat, aliran pemikiran yang banyak dianut oleh masyarakat Barat adalah bahwa manusia dalam kehidupannya harus memiliki kebebasan mutlak, dan undang-undang yang nota bene dibuat untuk mengikat kebebasan itu hanya berhak memainkan peran minimal (dalam kehiduapnnya). Aas dasar ini, pemerintah (yang berkuasa) harus mempersedikit campur-angannya dalam urusan pribadi masyarakat. Pemerintah hanya berkewajiban untuk mewujudkan ketertiban sosial dan mencegah terjadinya kekacauan-kekacauan di dalam masyarakat sehingga mereka dapat menikmati kebebasan yang menjadi haknya dengan leluasa.

Peran utama dalam mengatur jalannya (roda) masyarakat berada di pundak anggota masyarakat sendiri yang terjelma dalam partai-partai, perkumpulan-perkumpulan, asosiasi-asosiasi sosial, dan organ-organ lainnya yang bersifat swasta. Peran ini mencakup seluruh kehidupan bermasyarakat, baik dalam bidang ekonomi, kebudayaan, sosial, seni, kemiliteran, maupun bidang-bidang lainnya. Peran pemerintah hanya berfungsi dalam batas-batas yang sangat menimal. Ia hanya berhak campur-tangan dalam urusan-urusan ekstra penting yang tidak dapat dilakukan oleh mereka sendiri. Yang dapat dialkukannya adalah menyiapkanlahan demi terealisasinya kegiatan-kegiatan (yang telah direncanakan oleh badan-badan swasta tersebut) dan mengawasi supaya hak dan kebebasan masyarakat tidak ternodai serta mereka terpuaskan secara materi.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa landasan Masyarakat Madani Barat adalah sekularisasi pemerintah, oleh karena itu, pemerintah tidak berhak memasukkan unsur dan hukum-hukum agama dalam menjalankan pemerintahannya dan ia tidak berhak untuk mendukung salah satu aliran dan mazhab tertentu. Artinya, ia harus bersikap acuh tak acuh terhadap mazhab-mazhab tersebut.

Di negara-negara yang memiliki aneka ragam mazhab, karena presidennya adalah presiden untuk seluruh waga negara, maka ia tidak berhak untuk mendukung mazhab tertentu. (Di negara-negara ini), agama tidak berhak untuk memainkan perannya dalam institusi-institusi pemerintah, yayasan dan perkantoran-perkantoran negeri. Dan sebaliknya, pemerintah berkewajiban untuk mencegah campur-tangan agama dalam urusan-urusan kepemerintahan. Realita ini di masa kini dapat kita saksikan di negara Amerika, Inggris, dan Turki. Akan tetapi, yayasan-yayasan swasta yang tidak bergantung kepada pemerintah dapat memasukkan unsur-unsur agama dalam menjalankandan memanajemen program-programnya. Dan hal itu berada di luar tanggung-jawab pemerintah. Oleh karena itu, institusi dan sekolah-sekolah swasta yang berlandaskan agama memiliki kebebasan untuk melakukan aktifitas mereka di dalam negara-negara tersebut di atas.

Ide untuk mewujudkan Msyarakat Madani banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Di antaranya, mendominasinya ekonomi labil (sakit) dalam sebuah negara. Demi mengatasi segala problema ekonomi yang sedang menimpa negara, pemerintah menyerahkan mayoritas tanggung-jawabnya kepada badan-badan swast untuk mengatasinya. Dengan demikian, beban pemerintah niscaya akan berkurang secara drastis.

Faktor lain yang mendorong hal tersebut adalah politik para konglomerat dan jaringa perbankan dalam usaha menyedot laba sebanyak-banyaknya. Demi mencapai tujuannya tersebut, dengan bertopeng sisten ekonomi liberal dan minimalisasi fungsi undang-undang negara mereka meneriakkan slogan Masyarakat Madani.

Masih banyak faktor-faktor lain yang mendorong ide dibentuknya Masyarakat Madani. Untuk mengupasnya secara tuntas diperlukan waktu dan kesempatan yang tidak sedikit.

‘Alâ kulli hâl, landasan utama Masyarakat Madani di negara-negara Barat adalah penyingkiran agama dari ikut aktif dalam menangani problema-problema sosial. Undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang disepakati oleh mayoritas masyarakat, dan agama tidak berhak untuk ikut campur-tangan dalam menentukan masa depan politik mereka.

  1. Masyarakat Islami

Dalam kajian-kajian sosiologis, para sosiolog menyebutkan banyak faktor yang menyebabkan anggota sebuah masyarakat saling mangadakan korelasi dengan yang lainnya. Sekelompok masyarakat menjadikan hubungan darah atau ras kulit sebagai landasan (hubungan) sosial mereka, sekelompok yang lain menjadikan kepentingan-kepentingan golongan sebagai landasan untuk itu, kelompok ketiga menjadikan nasionalisme, kelompok keempat mejadikan warna kulit, dan kelompok kelima menjadikan agama sebagai dasar korelasi sosial mereka. Korelasi atas dasar kepentingan kabilah sudah pernah ada sejak dahulu kala di tengah-tengah kehidupan manusia.

Sebagian landasan-landasan sosial ini sangat rapuh dan sebagian yang lain sangat kokoh. Sebagiannya tidak memiliki nilai nilai sedikit pun dan sebagiannya lagi sangat berharga. Misal, korelasi sosial yang berlandaskan warna kulit, hubungan darah, dan sejenisnya memiliki nilai yang sangat minimal. Sementara korelasi yang didasari oleh sebuah keyakinan (apapun bentuknya), nilai-nilai etika, dan tujuan-tujuan bersama memiliki nilai yang lebih tinggi dari korelasi sebelumnya. Dan akhirnya korelasi sosial yang berlandaskan iman adalah yang paling tinggi. Hal ini dikarenakan landasan korelasi ini – berbeda dengan landasan-landasan korelasi lainnya – menyoroti seluruh sisi kehidupan manusia. Yaitu, akidah yang terpatri di dalam hati dan termanifestasi dalam aktifitasnya (sehari-hari).

Islam menjadikan iman sebagai landasan korelasi sosial di antara para pengikutnya, dan (do samping itu) ia juga ingin mewujudkan korelasi wilâ`î-Ilâhî di antara mereka. Demi mengungkapkan hal ini, ia menggunakan kosa kata “umat” ketika berbicara mengenai umat manusia. “Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu. Oleh karena itu, takutlah kepada-Ku”.

Menjadi anggota umat Islam dan keluar darinya tergantung kepada penerimaan dan penolakan wilâyah Ilâhiah ini. Barangsiapa berbai’at dengan imam muslimin dan menerima wilâyah dan hukum-hukum Allah dari jalur ini, maka ia termasuk anggota masyarakat Islam. Dan jika ia tidak berbai’at dengannya, maka iai sudah keluar dari keanggotaan umat Islam.

Syarat lain untuk menjadi anggota umat Islam adalah merasa memiliki rasa tanggung-jawab dan kewajiban (terhadap anggotaanggota yang lain). Anggota umat Islam sebelu memikirkan untuk menuntut hak-haknya, ia lebih mementingkan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Atas dasar ini, kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh agama akan lebih diutamakan daripada kepentingan-kepentingan individu dan golongan.

Pemimpin umat Islam berkewajiban untuk membantu pertumbuhan masyarakat (secara spiritual) dan membimbing mereka. Tugasnya tidak hanya memanajemen kehidupan masyarakat. Dalam artian, ia hanya mempertahankan kondisi sosial yang sedang berjalan atau mewujudkan sebuah keteraturan sosial demi tercapainya sebuah ketentraman bagi kehidupan dunia mereka. Akan tetapi, ia juga harus membuat program-program yang dapat menjamin kesempurnaan masyarakat (secara spiritual).

Salah satu perbedaan mendasar antara agama dan aliran pemikiran sekular Barat berkenaan dengan negara dan sistem sosial adalah perbedaan dalam tujuan. Tujuan utama sistem pemerintahan ala Barat dari memenuhi kebutuhan primer, seperti sandang-pangan, tempat tinggal, dan lain-lain, hanyalah mewujudkan kemakmuran dunia ini. Sedangkan agama dengan memnuhi semua itu, d samping untuk mencapai tujuan tersebut di atas, juga berharap untuk menggapai sebuah tujuan yang lebih mulia. Yaitu, mempersiapkan lahan demi terwujudnya keutamaan dan kesempurnaan insani, tersedianya jalan yang mudah dilalui untuk menghamba kepada Allah, membasmi segala penghalang bagi terealisasikannya penghambaan tersebut, dan membumihanguskan kekuasan para Tâghût. Pada hakikatnya, tujuan pertama (mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara material) masih memiliki nilai selama digunakan sebagai sarana dan tidak bertentangan dengan tujuan kedua (mencapai kesempurnaan insani secara spiritual). Oleh karena itu, dalam memenuhi tujuan pertama, nilai-nilai etika dan hukum-hukum Islam juga harus diperhatikan.

Sekarang kita harus melihat apakah masih ada arti danmaksud dari Masyarakat Madani yang sesuai dengan Masyarakat Islami.

  1. Masyarakat Madani dan Masyarakat Islami

Sebelumnya harus kami ingatkan bahwa dengan memperhatikan pondasi dan landasan-landasan Masyarakat Madani di atas, kita tidak mungkin bisa menggabungkan antara sistem Masyarakat Islami dan Masyarakat Madani. Karena landasan utama Masyarakat Islami adalah hegemoni agama dan hukum Ilahi atas seluruh segi kehidupan individual dan sosial masyarakat, sedangkan pondasi utama Masyarakat Madani Barat adalah pemisahan agama dan hegemoninya dari seluruh segi kehidupan sosial. Dan dua pandangan ini sangat kontradiktif.

Atas dasar ini, jika kita dapat menemukan sebuah definisi Masyarakat Madani yang dirumuskan berdasarkan kebutuhan masyarakat kita dan definisi “umat” (Islami) yang termasuk di dalamnya imâmah dan wilâyah, niscaya kita akan dapat menggabungkan antara kedua jenis masyarakat tersebut. Pertama kali yang harus kita perhatikan adalah apa yang kita inginkan dari Masyarakat Madani dan apa tujuan dari ide pembentukannya?

Tujuan-tujuan utama yang dapat digambarkan dari pembentukan Masyarakat Madani di tengah-tengah umat Islam pada masa kini adalah sebagai berikut:

  1. Menegakkan hak-hak masyarakat umum.
  2. Menggalakkan jiwa gotong-royong di tengah kejidupan masyarakat demi meningkatkan kemampuan ekonomi, sosial, dan budaya mereka.
  3. Memanfaatkan buah pikiran dan ide-ide (masyarakat) demi memperbaiki metode (manajemen) dan pencanangan program-program yang harus dijalankan.
  4. Mencegah terjadinya kepincangan-kepincangan birokrasi dan sosial, dan pemerasan pemerintah berkuasa atas rakyat kecil.
  5. Melaksanakan kewajiban-kewajiban sosial dengan baik, seperti menasehati para pemimpin dan ‘amar ma’rûf nahi munkar.
  6. Membimbing dan mendidik rakyat.
  7. Mengurangi beban dan tanggung-jawab pemerintah.

Dengan memperhatikan tujuan-tujuan di atas yang pada hakikatnya adalah fungsi-fungsi Masyarakat Madani, Masyarakat Madani (idaman) dapat dibentuk di dalam tubuh umat Islam. Tentunya dengan syarat mereka juga harus mengindahkan kewajiban-kewajiban mereka sebagai anggota sebuah umat. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan di atas, Masyarakat Madani ini dapat mewujudkan korelasi erat dan rasa memiliki di antara anggota masyarakat. Akan tetapi, korelasi dan rasa memiliki yang diwujudkan oleh keanggotaan mereka sebagai umat Islam akan lebih mendominasi dari korelasi di atas. Ini artinya:

Pertama, kesetiaan rakyat kepada umat Islam dan kepemimpinannya lebih kental daripada kesetiaan mereka terhadap struktur-struktur yang berlaku di dalam Masyarakat Madani.

Kedua, tujuan dan fungsi-fungsi Masyarakat Madani tidak berada dalam satu jajaran; tujuan dan fungsi-fungsi yang lebih difokuskan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan umum lebih diutamakan daripada tujuan dan fungsi-fungsi yang ditekankan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan individu dan golongan.

(Dengan ini), demi merealisasikan tujuannya itu, Masyarakat Madani tidak harus menjadi sekuler. Karena berpegang teguh dengan agama tidak menjadi penghalang baginya untuk sampai pada tujuan-tujuannya.

Iya, hal ini dapat menjadi penghalang bagi kebebasan absolut dalam membuat undang-undang yang mencakup seluruh segi kehidupan manusia. Membuat dan menetapkan sebuah undang-undang bukanlah satu pekerjaan yang dapat dilaksanakan berdasarkan kehendak dan suara rakyat. Karena konsekuensinya adalah menyingkirkan hukum dan undang-undang yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Oleh  karena itu, membuat dan menetapkan hukum dan undang-undang dalam masyarakat Islami harus sesuai dengan kerangka-kerangka hukum Islam yang paten dan tidak boleh kontradiktif dengan hukum-hukum Ilahi.

Dengan kata lain, setelah masyarakat menerima menjadi anggota masyarakat Islam dan berbai’at dengan pemimpin umat dengan suka rela, mereka juga harus menerima konsekuensi-konsekuensinya. Yaitu, beraktifitas di ruang lingkup tolok ukur-tolok ukur Islami. Dan hal ini adalah lumrah sebagaimana terjadi pada keanggotaan-keanggotaan sosial lainnya yang juga mewajibkan konsekuensi-konsekuensi tertentu.

Dalam sistem negara Islam, keabsahan organ-organ tubuh masyarakat termasuk di dalamnya Masyarakat Madani adalah berasal dari Allah sebagai Pemiliki alam semesta. Atas dasar ini, mereka yang memiliki persepsi bahwa di dalam UUD Repudlik Islam Iran terdapat dua sumber keabsahan; satu dari bawah yang menjadikan Iran sebagai negara Republik dan satu dari atas yang telah menjadikannya sebagai negara Islam, adalah keliru besar. Karena kerepublikan sebuah negara adalah satu masalah yang berhubungan dengan peresmian negara. (Yaitu, negara dapat dianggap resmi dan memililki kredibilitas untuk menjalankan segala program-programnya ketika rakyat mengakuinya – Pen.). Sementara ke-Islamannya menyangkut masalah yang berhubungan dengan keabsahan sebuah negara. Masyarakat Madani mendapatkan keabsahan dari negara Islam dan negara Islam dapat dianggap resmi ketika Masyarakat Madani menyetujuinya. Dengan demikian, tidak terdapat kontradiksi antara Masyarakat Madani dan Masyarakat Islami. (Bahkan) Masyarakat Madani dapar membantu merealisasikan hukum-hukum Islam yang harus dijalankan di dalam Masyarakat Iskami, dan di samping itu juga, ia masih dapat memenuhi hak dan kepentingan-kepentingan anggotanya yang tidak bertentangan dengan Islam.

Mungkin sebagian orang yang berasumsi bahwa Madinah Nabi SAWW adalah landasan utama Masyarakat Madani, juga memiliki persepsi seperti di atas. Karena jika Masyarakay Madani dilandasi oleh Madinah Nabi SAWW, maka seluruh nilai etika dan hukum Islam yang akan dijadikan tolok ukur dalam mengatur kehidupan masyarakat. Dan kita pun rela berkorban demi demi mewujudkan masyarakat seperti ini.

Tinggalkan komentar