Pencalonan Umar [9]

Oleh: Sayyid Said Akhtar R

Mayoritas  madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya dalam konteks Saqifah) adalah sebagai basis dari kekhalifahan Islam. Namun hal ini tidaklah demikian adanya.

Abu Bakar merasa berhutang budi kepada ‘Umar dalam mendudukkanya sebagai khalifah dan dia tahu bahwa jika masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih, ‘Umar tidak memiliki kans untuk menang. (‘Umar dikenal sebagai orang yang bertabiat keras dan kasar). Oleh karena itu, Abu Bakar memutuskan untuk menominasikan Umar bin Khattab sebagai pengganti baginya.

At-Tabari menulis: “Abu Bakar memanggil Utsman – ketika dia dalam keadaan sekarat – dan memintanya untuk menuliskan sebuah perintah pengangkatan, dan mendiktekan kepadanya: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Surat ini adalah surat perintah ‘Abdullah bin Abi Quhafa (Abu Bakar) kepada kaum Muslimin. Mengingat…,” kemudian ia jatuh pingsang. Utsman menambahkan kata-kata: “Aku mengangkat ‘Umar bin al-Khattab sebagai penggantiku bagi kalian.”

Lalu Abu Bakar siuman kembali dan berkata kepada ‘Utsman untuk membacakan surat perintah itu untuknya. ‘Utsman membacanya: “Abu Bakar berkata, Allahu Akbar, dengan gembira dan berkata, Aku pikir engkau takut jikalau orang-orang akan bersilang pendapat sesama mereka jika aku mati dalam keadaan tersebut.”

‘Utsman menjawab: “Iya.” Abu Bakar berkata: “Semoga Allah memberikan ganjaran kepadamu atas jasamu terhadap Islam dan kaum Muslimin.”[1] Kemudian, surat pengangkatan dilengkapi dan Abu Bakar memerintahkan supaya surat tersebut dibacakan di hadapan kaum Muslimin.

Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili menulis bahwa ketika Abu Bakar siuman dari pingsannya dan yang menuliskan dikte membaca apa yang telah ditulis olehnya  dan Abu Bakar mendengar nama ‘Umar, ia bertanya, “Bagaimana engkau menulis hal ini?” Orang yang menuliskan dikte berkata, “Engkau tidak dapat melewatinya begitu saja.” Abu Bakar menjawab: “Engkau betul.”[2]

Beberapa saat setelah Abu Bakar wafat, ‘Umar meraih kedudukan khalifah berkat surat pengangkatan ini. Di sini anda teringat akan tragedi yang terjadi tiga hari atau lima hari sebelum wafatnya Rasulullah Saw.

Dalam Sahih Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas bahwa: “Tiga hari sebelum wafatnya Rasulullah Saw ‘Umar bin Khattab dan sahabat-sahabat yang lain hadir di sisi beliau. Rasulullah Saw berkata: “Kini biarkan aku menuliskan sesuatu untuk kalian sebagai wasiat sehingga kalian tidak akan tersesat setelahku.” ‘Umar berkata: “Nabi sedang meracau; Kitabullah cukup bagi kita.” Perkataan ‘Umar menyebabkan kegaduhan di antara orang yang hadir di situ. Beberapa orang berkata bahwa permintaan Nabi itu harus dipenuhi sehingga beliau menulis apa saja yang diinginkan oleh Rasulullah Saw untuk kebaikan mereka, dan yang lainnya bersama ‘Umar. Ketika ketegangan dan kegaduhan meningkat, Rasulullah Saw berkata, “Pergilah kalian dari sini.”[3]

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kaliad lebih dari suara Nabi…” (Qs. al-Hujurat:2) Perkataan Nabi adalah wahyu dari Allah, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsu. Ucapannya tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”(Qs. an-Najm:3-4) Dan diperintahkan untuk  mengikuti perintah tanpa adanya “sekiranya” dan “tetapi”; Apa saja yang diberikan oleh Rasul kepadamu ambillah, dan apa saja yang dilarangnya, jauhilah.” (Qs. al-A’raf:59)

Dan ketika Nabi, lima hari sebelum wafatnya, beliau ingin menuliskan petunjuk untuk menyelamatkan kaum Muslimin dari kesesatan, beliau dituduh “sedang meracau”.

Ketika Abu Bakar yang tidak memiliki penjagaan Ilahi dari kesalahan, mulai mendiktekan surat pengangkatan dalam keadaan kritis; sehingga ia jatuh pingsan sebelum menyebutkan nama penggantinya, ‘Umar tidak berkata bahwa ia sedang meracau!

Tidak ada orang yang tahu pasti atas apa yang dinginkan oleh Rasul untuk ditulis, tetapi kalimat yang digunakan oleh beliau  memberikan petunjuk bagi kita bahwa yang diminta oleh beliau untuk ditulis adalah Kitabullah dan Itrahti. Dalam beberapa kesempatan, Rasulullah telah mengumumkan:

Ayyuhannas!, Sesungguhnya Aku tinggalkan bagi kalian dua pusaka yang berharga (tsaqalain) Kitabullâh dan Itrahti, yang merupakan Ahl al-Baitku. Kalian tidak akan tersesat selamanya, jika kalian berpegang teguh kepada keduanya.

Ketika beliau menggunakan kalimat yang sama lima hari sebelum wafatnya (…”Mari aku tuliskan sesuatu sebagai wasiat sehingga kalian tidak akan tersesat setelahku”..), mudah untuk dimengerti bahwa Rasululullah Saw ingin menuliskan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang al-Qur’an dan Ahl al-Bait As.

Barangkali ‘Umar telah menduga hal ini sebelumnya; karena tampak dari klaim yang digunakannya: “Kitabullâh cukup bagi kita.” Ia ingin memberitahukan kepada Rasulullah Saw bahwa ia tidak ingin mengikuti Tsaqalain. Yang pertama sudah cukup baginya.

Dan ia sendiri mengakui dalam pembicaraannya dengan ‘Abdullah bin ‘Abbas, kemudian ia berkata sebagai berikut: “Dan sesungguhnya, Ia (Rasulullah) bermaksud untuk mengumumkan nama ‘Ali, sehingga aku mencegahnya.”[4]

Barangkali dengan menggunakan kalimat “meracau” akan mewujudkan tujuannya bahwa jika sekiranya Rasulullah Saw menuliskan wasiat beliau, ‘Umar dan pengikutnya akan mengklaim bahwa karena wasiat itu ditulis dalam keadaan meracau, maka tidak memiliki keabsahan.

 

Asy-Syuraa: Komite

Setelah berkuasa kurang-lebih sepuluh tahun, ‘Umar terluka secara serius akibat tikaman seorang budak Zoroaster, Firuz.

‘Umar merasa sangat berhutang budi kepada ‘Utsman (karena surat pengangkatan tersebut) namun tidak ingin secara terbuka menominasikan ‘Utsman sebagai penggantinya; juga tidak ingin melepaskan kaum Muslimin untuk menggunakan kebebasan setelah kematiannya. Ia secara cerdik menciptakan system ketiga.

Ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah telah wafat dan beliau rida dengan keenam orang Quraisy: ‘Ali, Utsman, Talha, az-Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqas dan Abdurrahman bin ‘Auf. Dan jika aku memutuskan untuk membuat (seleksi khalifah) dimusyarahkan di antara mereka, mereka dapat memilih salah satu dari keenamnya.”

Mereka dipanggil ketika ia hampir mendekati kematian. Ketika ia melihat kepada mereka, ia bertanya, “Jadi, kalian semua ingin menjadi khalifah setelahku?” Tidak ada yang menjawab. Ia mengulangi pertanyaannya. Lalu az-Zubair angkat bicara: “Apa yang engkau miliki untuk menyingkirkan kami dari pencalonan? Engkau telah mendapatkannya dan mengelolanya; dan kami tidak lebih kecil darimu dalam bangsa Quraisy baik dari sisi keturunan dan hubungan dengan Rasulullah Saw.”

‘Umar bertanya: “Jika sekiranya aku katakan tentang diri kalian semua?

Az-Zubair berkata: “Katakanlah kepada kami, karena walaupun kami memintamu untuk tidak mengatakannya, engkau tetap akan mengatakannya. Lalu ‘Umar mulai menghitung kejahatan-kejahatan az-Zubair, Talha, Sa’ad bin Abi Waqqas dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Lalu ia menoleh kepada ‘Ali dan berkata, “Demi Allah engkau pantas untuk mendapatkannya (khalifah) jika saja karena bukan tabiat tegasmu. Bagaimanapun, demi Allah, jika engkau membuatnya menjadi pemimpinmu, ia akan pasti membimbingmu ke jalan yang benar dan jalan yang terang.”

Lalu ia memandang kepada ‘Umar dan berkata: “Ambillah dariku. Sepertinya seakan-akan aku melihat bahwa bangsa Quraisy telah meletakkan kalung ini (khalifah) di sekitar lehermu karena cintamu; kemudian engkau akan meletakkan Banu Umayyah dan Banu Abi Mu’ayt (sukunya ‘Utsman) di pundak orang-orang (sebagai penguasa) dan memberikan kepada mereka secara eksklusif harta rampasan (ghanimah) kaum muslimin; dengan demikian sekelompok orang dari srigala-srigala Arab datang kepadamu dan membantaimu di pembaringan.

Demi Allah, jika bangsa Quraisy memberikan khalifah kepadamu, engkau pasti akan memberikan hak-hak eksklusif kepada Banu Umayyah dan jika engkau melakukan hal ini, kaum Muslimin akan membunuhmu.”Lalu ia memegang kening ‘Utsman dan berkata: “Jadi jika hal ini terjadi, ingatlah pesanku; karena pasti hal ini akan terjadi.”

Kemudian ‘Umar memanggil Abu Talha al-Ansari dan berkata kepadanya bahwa setelah penguburannya (‘Umar), ia diminta untuk mengumpulkan lima puluh orang dari Ansar yang bersenjatakan pedang, dan mengumpulkan keenam orang kandidat yang telah disebutkan di atas dalam sebuah rumah untuk memilih salah seorang dari mereka sebagai khalifah. Jika lima orang sepakat dan satunya tidak, maka ia harus dipenggal; jika empat orang sepakat dan dua orang tidak sepakat, keduanya harus dipenggal; jika seimbang, tiga berhadapan dengan tiga, pilihan kelompok Abdurrahman ‘Auf yang menang, dan jika kelompok lainnya tidak setuju atas pilihan Abdurrahman ‘Auf mereka harus dipenggal. Kemudian jika sudah tiga hari berlalu dan mereka tidak mampu mengambil sebuah keputusan, semuanya harus dipenggal dan masalah pemilihah khalifah diserahkan kepada kaum Muslimin.”[5]

Seorang penulis Syi’ah menukil, ketika ‘Umar mengumumkan bahwa kelompok ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang akan menang, ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata kepada ‘Ali, ” Dan lagi hal ini merupakan kekalahan bagi kita. Orang ini menghendaki ‘Utsman menjadi khalifah.” ‘Ali menjawab, “Aku juga mengetahui hal ini; namun aku masih ingin duduk bersama mereka di dalam syura, karena ‘Umar dengan siasat ini telah – setidaknya – menerima bahwa aku yang pantas menjadi khalifah, padahal sebelumnya ia menegaskan bahwa nubuwwah (kenabian) dan imamah tidak dapat bergabung dalam satu keluarga. Oleh karena itu, aku akan mengambil bagian dalam syurah untuk menunjukkan kepada orang-orang  bahwa dalam pembicaraan dan perbuatannya terdapat kontradiksi.”[6]

Mengapa Ibn ‘Abbas dan ‘Ali yakin bahwa ‘Umar menghendaki ‘Utsman yang menjadi khalifah? Karena konstitusi syura dan kerangka kerjanya.

‘Abdurrahman bin ‘Auf dan ‘Utsman adalah saudara ipar, karena ‘Abdurrahman bin ‘Auf menikah dengan saudarinya ‘Utsman; dan Sa’ad bin Abi Waqqas dan ‘Abdurrahman adalah saudara sepupu.

Memandang kepercayaan yang diikat oleh keluarga dalam bangsa Arab, mustahil Sa’ad akan menentang ‘Abdurrahman atau ‘Abdurrahman tidak mengindahkan ‘Utsman (saudara iparnya). Sehingga semua suara tersebut untuk ‘Utsman, termasuk ‘Abdurrahman yang memutuskan suara.

Talha bin ‘Ubaidillah berasal dari suku Abu Bakar dan sejak hari Saqifah, Bani Hasyim dan Bani Taim bermusuhan satu sama lain. Dan dalam tataran pribadi, ‘Ali telah membunuh pamannya, ‘Umair bin ‘Utsman, saudaranya Malik bin ‘Ubaidillah dan kemenakannya ‘Utsman bin Malik dalam perang Badar.[7] Tidak mungkin baginya mendukung ‘Ali. Az-Zubair merupakan putra dari Safiyyah, bibi ‘Ali, dan setelah peristiwa Saqifah, ia mencabut pedangnya untuk memerangi mereka yang telah menerobos rumahnya ‘Ali untuk membawanya kepada Abu Bakar. Dan tidak masuk akal untuk mengharapkan Zubair dapat membantu ‘Ali. Dan pada sisi yang lain, ia sendiri dapat tergoda untuk menjadi khalifah.

Dengan demikian, orang yang paling bisa diharapkan oleh ‘Ali dalam pemilihan itu adalah az-Zubair. Masih ada empat orang dalam pemilihan tersebut yang menentangnya dan ia akan kalah dalam pemilihan ini. Bahkan jika Talha memilih ‘Ali, ia tidak dapat menjadi khalifah karena dalam skenario dua kelompok yang berimbang, pendapat ‘Abdurrahman yang akan didengar.[8]

Setelah mengkaji kerangka kerja musyawarah ini, apa yang terjadi di dalamnya adalah hanya menarik minat akademik saja. Talha menjatuhkan suaranya kepada ‘Utsman; dengan asumsi bahwa az-Zubair akan memilih ‘Ali, dan Sa’ad memilih ‘Abdurrahman bin ‘Auf.

Pada hari ketiga, ‘Abdurrahman menarik namanya dan berkata kepada ‘Ali bahwa ia akan menjadikannya sebagai khalifah jika; ‘Ali bersumpah untuk mengikuti Kitabullah, sunnah Rasulullah dan sunnah Abu Bakar dan ‘Umar. ‘Abdurrahman tahu betul jawaban ‘Ali. ‘Ali berkata, “Aku ikuti Kitabullah, Sunnah Rasulullah Saw dan keyakinanku sendiri.”

Kemudian ‘Abdurrahman mengajukan syarat yang sama kepada ‘Utsman, yang memang telah bersedia untuk menerima syarat tersebut. Dengan demikian, ‘Abdurrahman mendeklarasikan ‘Utsman sebagai khalifah baru.

‘Ali As berkata kepada ‘Abdurahman: “Demi Allah, engkau tidak melakukannya kecuali dengan harapan yang sama, yang ia (‘Umar) dapatkan dari temannya.” (Ia bermaksud bahwa ‘Abdurahman melantik ‘Utsman sebagai khalifah dengan harapan bahwa ‘Utsman juga akan menominasikannya sebagai penggantinya.)

Kemudian ‘Ali berkata: “Semoga Allah menciptakan permusuhan di antara kalian berdua.” Selang beberapa tahun ‘Abdurahman dan ‘Utsman saling bermusuhan satu sama lain; mereka tidak saling menyapa hingga ‘Abdurahman wafat.

‘Utsman; khalifah ketiga, dibunuh oleh kaum Muslimin yang tidak senang dengan nepotisme yang dipraktikkan olehnya. Keadaan ini tidak memberikannya peluang untuk memilih penggantinya. Kaum Muslimin, untuk pertama kalinya, benar-benar bebas menyeleksi (selection) atau mengeleksi (election) seorang khalifah sesuai dengan pilihan mereka; mereka berkerumun di hadapan pintu rumah ‘Ali As.

Namun, dua puluh lima tahun telah berlalu semenjak wafatnya Rasulullah Saw, tabiat dan pandangan kaum Muslimin telah berubah hingga pada keadaan bahwa banyak orang-orang popular menjumpai pemerintahan ‘Ali berdasarkan kepada keadilan dan kesetaraan mutlak, persis seperti pemerintahan Rasulullah Saw, sehingga mereka tidak kuat mengikuti pemerintahannya.

Setelah syahada Imam ‘Ali As, Imam Hasan ingin melanjutkan perang dengan Muawiyah. Namun banyak orang-orangnya, disuap oleh Mua’wiyah; dan banyak para komandan yang, ketika mereka diutus untuk menghadang Muawiyah, malah menyeberang menjadi pasukan Mua’wiyah dan menjadi musuh Imam Hasan As. Dalam keadaan seperti ini, Imam Hasan terpaksa menerima tawaran berdamai dari Muawiyah.

Setelah gencatan senjata ini, Ahlus Sunnah mengklaim bahwa kekuatan militer adalah jalan yang sah untuk memperoleh khalifah konstitusional.

Oleh karena itu, jalan keempat “konstitusional” khalifah muncul menjadi syarat di antara syarat-syarat menjadi seorang khalifah.

 

Pandangan Umum

 Dalam ranah politik, biasanya konstitusi sebuah Negara disiapkan sebelumnya. Dan ketika tiba  saatnya  untuk memilih sebuah pemerintahan atau melantik dewan legislatif, setiap jawatan dilaksanakan berdasarkan provisi-provisi konstitusi. Apapun yang sejalan dengannya, akan dianggap sah dan legal dan sebaliknya, apa saja yang berlawanan dengan kaidah ini, ditolak karena tidak sah dan illegal.

Karena, menurut pandangan Ahlus Sunnah merupakan tugas umat untuk memilih seorang khalifah, wajib bagi Allah dan Rasul-Nya untuk menyediakan mereka sebuah konstitusi (dengan prosedur yang detail untuk memilih seorang khalifah). Dan jika tidak dilakukan, maka kaum Muslimin sendiri yang seharusnya bersepakat untuk menentukan langkah-langkah konstitusional sebagai pendahuluan sebelum prosesi pemilihan seorang khalifah.

Akan tetapi, cukup aneh jika hal ini tidak dilakukan. Dan kini kita temukan sebuah konstitusi unik yang tidak past”i (unsettled) yang tindakan-tindakannya tidak sesuai dengan konstitusi karena memang tidak ada; malah sebaliknya konstitusi yang mengikuti keadaan-keadaan.

Argumen paling baik yang diajukan oleh Ahlus Sunnah untuk mendukung klaim mereka adalah bahwa kaum Muslimin pada masa-masa awal memandang tugas mereka untuk mengangkat seorang khalifah, dan bahwa mereka memandang hal ini penting sehingga mereka melalaikan untuk menghadiri upacara pemakaman Rasulullah dan pergi ke Saqifah Bani Sa’idah untuk menyelesaikan permasalahan khalifah. Dari peristiwa itu mereka memutuskan bahwa pengangkatan seorang khalifah merupakan tugas umat.

Syi’ah mengklaim bahwa peristiwa Saqifah Bani Sa’idah adalah peristiwa illegal; Ahlus Sunnah mengklaim bahwa peristiwa ini legal dan benar. Bagaimana Ahlus Sunnah meletakkan klaim mereka sebagai argumen dan dalil?

Untuk meletakkan klaim sebagai dalil adalah seperti pepatah: “Perbuatanku sah karena aku telah melakukannya.” Mahkamah manakah yang akan menopang argumen semacam ini?

 

Sisi Praktikal

Kesampingkan sisi akademis dari metode-metode ini, mari kita lihat akibat yang diderita oleh mereka karena masalah kepemimpinan dan mentalitas kaum Muslimin.

Dalam masa tiga puluh tahun setelah wafatnya Rasulullah Saw, segala cara yang mungkin dilakukan untuk memperoleh kekuasaan dan membuat aturan-aturan baku seperti eleksi, seleksi, nominasi dan kekuatan militer. Hasilnya, adalah bahwa hari ini setiap penguasa Muslim yang menghendaki untuk menduduki takhta kekhalifahan dan “kepemimpinan spiritual” kaum Muslimin; dan hal ini merupakan kekurangan dasar dari pandangan kaum Muslimin yang  hingga hari ini senantiasa menjadi penyebab utama instabilitas politik dunia Islam. Setiap penguasa Islam; sebagai seorang Muslim, telah diajarkan bahwa “supremasi militer” merupakan sebuah jalan konstitusional untuk menjadi khalifah. Mereka mencoba untuk melemahkan penguasa Muslim yang lain sehingga ia sendirilah yang dapat muncul sebagai penguasa yang paling agung di antara penguasa-penguasa kaum Muslimin. Dengan cara seperti ini, “konstitusi” ini secara langsung telah menyumbangkan kelemahan bagi dunia Islam hari ini.

Terlepas dari itu, mari kita lihat sekali lagi betapa  metode ini terbukti segera setelah ia diciptakan. Keempat sisi batas khalifah ini sangat tidak aman sehingga seseorang bisa saja memasukinya, tanpa memandang ilmu atau perilakunya. Khalifah pertama setelah Mu’awiyah adalah anaknya, Yazid, yang”dinominasikan” oleh Mua’wiyah dan memiliki “kekuatan militer” yang besar. Kaum Muslimin memberikan bai’at mereka selama masa pemerintahan Mua’wiyah; dengan demikian, terdapat ijma’ juga dalam bai’at ini. Jadi Yazid juga merupakan “khalifah konstitusional”. Namun bagaimana iman dan perilakunya? Yazid adalah orang yang terang-terangan mengingkari Rasulullah Saw. Ia secara jujur menyatakan keyakinannya dalam sebuah syair: “Bani Hasyim telah memainkan sebuah lakon untuk meraih kerajaan; sejatinya tidak ada kabar (dari Tuhan) juga tidak ada wahyu.”[9]

Ia tidak percaya tentang adanya Hari Kiamat: “Wahai kekasihku! Jangan engkau percaya akan bersua denganku setelah mati, karena apa yang mereka katakan kepadamu tentang wujud kita akan dibangkitkan untuk hisab hanyalah sebuah mitos yang membuat hati lupa akan kesenangan hidup di dunia nyata ini.”[10]

Setelah memangku jabatan khalifah, ia secara terbuka bermain-main dengan salat; dan menunjukkan sikap acuhnya terhadap agama dengan mengenakan jubah ulama pada anjing-anjing dan monyet-monyet. Judi dan bermain dengan beruang adalah permainan favoritnya untuk menghabiskan waktu. Ia menghabiskan waktunya dengan meminum anggur, di mana saja dan kapan saja, tanpa ragu. Ia tidak menghormati kaum wanita, bahkan orang-orang yang termasuk muhrimnya seperti, ibu tiri, saudara, bibi dan putri. Mereka ibaratnya seperti wanita-wanita lain di matanya.

Ia mengutus pasukannya ke Madinah. Di kota suci Nabi itu harta-harta para penduduk dijarah secara bebas. Tiga ratus gadis-gadis, terpisah dari wanita-wanita lainnya, diserang oleh tentara-tentaranya. Tiga ratus qurra (pembaca al-Qur’an) dan tujuh ratus sahabat-sahabat Nabi dibantai secara brutal.

Masjid suci ditutup selama berhari-hari. Para tentara Yazid menggunakannya sebagai kandang kuda mereka. Masjid suci ini menjadi tempat persinggahan anjing-anjing dan mimbar Nabi dicemari.

Akhirnya, komandan lasykar memaksa orang-orang Madinah untuk tunduk di hadapan Yazid dengan memberikan bai’at mereka dengan perkataan seperti ini: “Kami adalah budak-budak Yazid; terserah kepadanya apakah ia memberikan kembali kepada kami kebebasan atau menjual kami di pasar budak.” Mereka yang ingin memberikan bai’at dengan syarat bahwa Yazid harus mengikuti dustur al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw, dibunuh oleh antek-antek Yazid.[11] Mungkin relevan jika kita menyitir hadits Nabi yang pernah bersabda bahwa: “Semoga Allah melaknat orang yang memberi ketakutan kepada orang-orang Madinah!”

Kemudian pasukan itu, atas perintah Yazid, bertolak ke Makkah. Kota paling suci Allah itu dikepung. Mereka tidak dapat memasuki kota, lalu mereka menggunakan manjaniq (ketapel): sebuah alat militer kuno yang digunakan untuk melontarkan batu besar terhadap sasaran yang jauh). Dengan alat ini, mereka melontarkan batu-batuan dan obor yang menyala ke Ka’bah. Kiswah (plafon Ka’bah) terbakar dan salah satu bagian dari bangunan suci itu rusak berat.[12]

 

 Al-Walid dan Harun al-Rasyid

 Aturan ini, bukan sebagai sebuah pengecualian,  sudah menjadi aturan umum. Contohnya adalah Al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik yang merupakan salah seorang khalifah dari Bani Umayyah. Suatu malam ia sedang minum-minuman keras bersama selirnya, hingga mereka berdua mendengar azan subuh. Ia bersumpah bahwa sang selir tersebut akan memimpin salat. Sang selir mengenakan jubah khalifah dan memimpin salat dalam keadaan yang sama dengan al-Walid, yaitu sedang mabuk.[13]

Suatu hari ia menggangu putri belianya di hadapan wanita budak putrinya tersebut. Ia berkata (itu bukan Islam) itu merupakan agama Majusi. Al-Walid mendendangkan sebuah kuplet: “Pria yang peduli akan (lisan) orang-orang, mati dalam keadaan duka; pria yang berani, akan mendapatkan seluruh kesenangan duniawi.[14]

Harun al-Rasyid, khalifah masyhur dari negeri Seribu Satu Malam ini  dianggap sebagai salah seorang khalifah yang paling berpengaruh, ingin tidur bersama salah seorang selir ayahnya. Wanita tersebut secara tegas menolak dan mengatakan bahwa perbuatan ini termasuk perbuatan zina karena kedudukan wanita itu sebagai ibu baginya. Harun al-Rasyid memanggil al-Qadi Abu Yusuf dan berkata kepadanya untuk menemukan cara untuk memuaskan syahwatnya. Si Qadi berkata: “Dia hanyalah merupakan wanita budak.”

Apakah engkau akan menerima apa saja yang ia katakan? Tidak.

Jangan terima perkataannya.”

Jadilah sang khalifah memuaskan nafsunya.

Ibn Mubarak berkomentar: “Aku tidak tahu siapa di antara tiga orang ini yang lebih mengagetkan: Khalifah yang menaruh tangannya di dalam darah dan harta kaum Muslimin dan tidak menghormati ibu tirinya; atau wanita budak yang menolak untuk mengabulkan keinginan sang khalifah; atau Qadi yang memberikan fatwa kepada sang khalifah untuk menghina ayahnya dan tidur bersama selir ayahnya yang nota-bene masih merupakan ibu tirinya sendiri.”[15]

 

Pengaruh-pengaruh Kepercayaan Terhadap Keadilan Ilahi dan Ismah (Kesucian)Para Nabi

Telah dijelaskan bahwa keyakinan Ahlus Sunnah ihwal “khalifah konstitusional” melemahkan kaum Muslimin secara politik dan memaksa mereka untuk mentaati setiap orang yang berhasil meraih kekuasaan tanpa memandang kualifikasi atau karakternya.

Seakan-akan hal ini tidak cukup untuk memaksa mereka untuk merubah pandangan dan keyakinan agamanya.

Pertama-tama, mayoritas khalifah yang pernah berkuasa,  kosong dari nilai-nilai agama dan ketakwaan. Untuk menjustifikasi khalifah yang seperti ini, mereka mengklaim bahwa bahkan para nabi biasa melakukan kesalahan. Oleh karena itu, keyakinan mereka terhadap ismah para nabi telah berubah.[16]

Karena barangkali ada ratusan orang yang lebih alim, bertakwa dan lebih memenuhi kualifikasi untuk menjadi khalifah ketimbang khalifah yang berkuasa, mereka dipaksa untuk berkata bahwa tidak ada yang salah dalam memberikan preferensi kepada orang yang lebih rendah tingkat keilmuan, keimanannya (inferior) atas seorang yang memiliki tingkat keilmuan, keimanan yang lebih tinggi dan berkualifikasi.

Syi’ah mengajarkan bahwa perbuatan ini termasuk perbuatan jahat sesuai dengan standar akal-sehat. Tindakan memberikan preferensi kepada yang lebih inferior ketika ada orang yang lebih superior adalah perbuatan jahat, Ahlus Sunnah menyatakan bahwa tidak ada yang baik atau buruk dalam dirinya, apa saja yang diperintahkan oleh Allah adalah baik; apa saja yang dilarang adalah buruk.[17]

Tentang akal, mereka mengingkari keberadaannya di dalam agama. Tidak mungkin menjelaskan secara detail data yang menunjukkan bagaimana keyakinan Ahlus Sunnah “konstitusional khalifah” mempengaruhi seluruh teologi Islam, namun dengan penjelasan secara singkat diharapkan bisa memadai untuk sementara waktu. Jelas bahwa untuk melindungi para khalifah, tidak hanya para nabi disingkirkan dari kedudukan ismah, tapi juga Allah disingkirkan dari keadilan-Nya. Dari sudut pandang ini, kita dapat dengan mudah mengerti signifikansi penuh ayat yang diturunkan di Ghadir Khum.

Wahai Rasul! Sampaikan apa yang telah diwahyukan keapdamu dari Tuhanmu; (tentang khilafah Imam ‘Ali As) dan jika engkau tidak melakukannya, engkau tidak menyampaikan pesan Ilahi (sama sekali); Dan Allah akan menjagamu dari ganguan manusia (Qs. al-Maidah:54)

Kesucian keyakinan dan amal Islam bergantung kepada khalifah ‘Ali As; jika satu pesan tidak disampaikan, maka seakan-akan tidak ada pesan yang disampaikan sama sekali. Keterjagaan seluruh ajaran agama bergantung kepada Khalifah ‘Ali setelah Rasulullah Saw.


[1] . Lihat, at-Tabari: at-Târikh,  hal-hal. 2138-2139.

[2] . Lihat, Ibn Abi ‘l-Hadid: Syarh.Nahju ‘l-Balâgha vol. 1, hal-hal. 163-165.

[3] . Lihat, Muslim: as-Sahih ”  Kitabu ‘l-Wasiyyah “, Babu ‘t-tarki ‘l-Wasiyyah, vol. 5, hal-hal.75-76; al-Bukhari: as-Sahih, (Kairo, 1958), vol. 1, ” Kitabu ‘l-‘llm“) hal-hal.38-39; vol.4, hal.85; vol.6, hal-hal.11-12; vol. 7, Kitabu ‘t-Tib , hal-hal.155-156; vol. 9, Kitabu ‘iI’ tisam bi ‘l -Kitab wa ‘s-Sunnah,  hal. 137. Menarik untuk disimak bahwa di mana Bukhari memberikan komentar bahwa Rasulullah berbicara dalam keadaan meracau, ia melalaikan nama orang yang menuduh beliau meracau (‘Umar, -penj.); dan di mana ia memparafrasekan komentar tersebut dengan bahasa yang lebih santun, ia menyebutkan nama pembicara – ‘Umar – dengan jelas. Ibn Sa’d: at-Tabaqat, vol. 2, hal-hal. 242-324 folio, 336, 368; Ahmad: al-Musnad, vol. I, hal-hal .232,239, 324 folio, 336,355.

[4] . Lihat, Ibn Abi ‘l-Hadid:  Syarh, vol. 12, hal. 21, (dinukil dari Târi’kh Baghdad).

[5] . Ibid.,  vol. l, hal-hal. 185-188; Lihat juga Ibn Qutaybah : al-Imâmah wa ‘s-Siyâsah, vol. 1, hal- hal. 23-27; dan  at-Tabari:  at-Târikh, (Mesir, tanpa tahun), vol.5, hal-hal. 33-41.

[6].  Lihat, Ibn Abi ‘l-Hadid :Syarh,   hal.189.

[7] .  Lihat, Ash-Shaykh al-Mufid: al-Irsyad , (dengan terjemahan Persia oleh Syaikh Muhammad Baqir Sa’idi Khurasani), hal.65. [Lihat juga terjemahan Inggris oleh I. K.A. Howard, hal .47 ].

[8] .  Analisa ini dinisbahkan kepada ‘Ali As, sendiri oleh at-Tabari dalam at-Tarikh, hal.35; (lihat footnote 78, di atas). Dalam laporan itu, dialog ini dikatakan terjadi antara ‘Ali dan pamannya ‘Abbas.

[9] . Lihat, catatan kaki no. 9 bagian pertama.

[10] . Lihat, Sibt ibn al-Jawzi: Tadzkirah, hal. 291.

[11] . Lihat, as-Suyuti: Tanrikhu ‘l-Khulafa‘,  hal. 209, [Lihat juga, terjemahan Inggrisnya oleh  Major H.S. Jarrett, hal.213]; Abu’l-Fida’: at-Târikh, vol.I, hal.192; Sibt ibn al-Jawzi: Tadzkirah, hal. 288; Mir Khwand: Rawdatu ‘s-Safa,  vol. 3, hal. 66; Ibn Hajar al-Haytami:  as-Sawa’iqu ‘l-Muhriqah, hal. 79.

[12] . Ibid.

[13] . Lihat, ad-Diyar Bakri: Tarikhu ‘l-Khâmis, vol. 2, hal. 320, sebagaimana dikutip oleh Nawwab Ahmad Husayn Khan Payanwan dalam Tari’kh Ahmad, hal. 328 [Ibn Shakir: Fawatu ‘l-wafayat, vol.4, hal-hal.255-259.

[14] . Lihat, as-Suyuti: Tari’khu ‘l-Khulafa, hal. 291.

[15] . Ibid.

[16] . Lihat,  Prophethood karya S.A.A. Rizvi, hal.9-18

[17] . Lihat, Justice of God karya S.A.A. Rizvi, hal-hak. 1-2.

17 responses to “Pencalonan Umar [9]

  1. Ping-balik: Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d·

  2. Ping-balik: Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d·

  3. Ping-balik: Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d·

  4. Ping-balik: Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d·

  5. Ping-balik: Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d·

  6. Ping-balik: Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d·

  7. Ping-balik: Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d·

  8. Ping-balik: Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d·

  9. Ping-balik: Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d·

  10. Ping-balik: Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d·

  11. Ping-balik: Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d·

  12. Ping-balik: Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d·

  13. Ping-balik: Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d·

  14. Ping-balik: Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d·

  15. Ping-balik: Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d·

  16. Ping-balik: Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d·